NovelRanah 3 Warna bercerita tentang seorang anak lulusan pondok pesantren yang mempunyai impian menuntut ilmu di Universitas ternama di Jawa Barat. Alif namanya, ia mempunyai keyakinan bahwa segala keinginan di dunia ini bila diperjuangkan dengan sungguh-sungguh apa pun itu maka akan benar terwujud.
Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd. Bandung - Para penikmat film Indonesia pastilah sudah tak sabar dengan hadirnya film Ranah 3 Warna yang diadaptasi dari novel karya Ahmad Fuadi. Novel tersebut merupakan novel kedua dari trilogi Negeri 5 Menara, yang diangkat ke layar lebar oleh sutradara Guntur ini mampu menginspirasi liburan sekolah bersama keluarga dengan kisah perjuangan para anak muda dalam meraih cita-citanya di tanah rantau jauh dari keluarga dan tempat tertunda dua tahun akibat pandemi, film Ranah 3 Warna telah tayang di bioskop sejak akhir Juni lalu. Kisah film Ranah 3 Warna ini sama seperti novelnya, yakni menceritakan seorang remaja yang pantang menyerah. Berfokus pada perjuangan Alif Fikri Arbani Yasiz yang merupakan anak pinggir Danau Maninjau. Ia mengidolakan Presiden ketiga RI, BJ Habibie, hingga memiliki motivasi tinggi untuk menimba ilmu sampai ke ujung mimpi itu tak bisa dengan mudah terealisasi, sebab untuk kuliah di Bandung saja ia harus menempuh jalan yang rumit. Alif tidak pernah melupakan cita-citanya bisa ke benua Amerika, ia hanya yang dipendamnya itupun tak jarang diremehkan orang lain, namun ia coba melapangkan dada. Hingga akhirnya keadaan membuat Alif kemudian melintasi tiga "Ranah" yakni Indonesia, Timur Tengah, dan Teuku Rassya merupakan teman dekat Alif yang memiliki banyak kelebihan. Ia menempuh pendidikan tinggi sebagai Mahasiswa Teknik di ITB. Kelebihan pada diri keduanya membuat Randai dan Alif meski bersahabat namun juga bersaing dalam dunia akademik bahkan percintaan. Keduanya mendambakan perempuan yang sering menemani keseharian mereka, yakni Raisa Amanda Rawles.Film ini mengambil latar suku Minangkabau dengan bahasa Minang yang kental. Penonton juga akan dimanjakan dengan penampilan Tari Piring yang merupakan tari tradisional pada Negeri 5 Menara, Alif berbekal kata-kata 'man jadda wa jada' artinya "barangsiapa bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil". Sementara dalam film Ranah 3 Warna berganti menjadi 'man shabara zhafira' yang artinya "siapa yang bersabar akan beruntung".Alif pun berhasil mendapatkan sebuah kesempatan ke luar negeri melalui program pertukaran pelajar ke Kanada, meskipun bukan seperti mimpinya awal yang ingin ke ini memotivasi dengan alur ceritanya tentang bagaimana perjuangan Alif untuk mempertahankan kesabaran di tengah berbagai persoalan. Serta bagaimana Alif menghadapi setiap situasi ketiga pemeran tersebut, ada pula beberapa pemain muda serta aktor dan aktris kawakan seperti Maudy Koesnaedi, David Chalik, Lukman Sardi, Donny Alamsyah, Raim Laode, Risma 'Neneng' Wulandari, Sadana Agung, Tanta Ginting, dan ini selain menampilkan keberagaman Indonesia dari background para pemainnya, juga mengangkat isu penting yaitu quarter life crisis yang dialami para Gen Z saat ini. Tak hanya menguras emosi dan air mata, film ini sarat akan pesan moral untuk berjuang dalam menghadapi hidup, karir, dan narasi di akhir film, Alif mengatakan bahwa kendaraan hidup adalah kesabaran. Selain itu, pelajaran lainnya yang dipetik adalah mengatasi segala permasalahan dengan cara yang sebaik-baiknya. Simak Video "Rekomendasi Film untuk Habiskan Akhir Pekan Bersama Keluarga" [GambasVideo 20detik] aau/tya
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. [caption id="attachment_95443" align="alignleft" width="300" caption="Ranah 3 Warna source pict. Masih ingat tokoh Alif dalam novel Negeri 5 Menara? Nah, di buku Ranah 3 Warna ini kisah tentang Alif dapat kembali kita ketahui kelanjutannya. Buku kedua dari trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi ini adalah sebuah buku yang layak mendapatkan apresiasi. Buku yang berkisah tentang seorang Alif yang berusaha keras dan sungguh-sungguh menjalani kehidupannya, meraih cita-citanya. Berbagai hikmah bermanfaat dapat kita petik dari novel setebal 470an halaman ini. Jika di buku pertama dari Trilogi Negeri 5 Menara kita mendapatkan pelajaran "Man Jadda Wajada" siapa yang bersunggung-sungguh akan sukses, maka di buku yang kedua ini ada satu tambahan pelajaran lagi, yaitu "Man Shabara Zhafira" siapa yang bersabar,akan beruntung. Ternyata keberhasilan, kesuksesan, atau apapun yang bermakna pencapaian itu tidak hanya cukup dengan bersungguh-sungguh, tapi juga harus diiringi konsep sabar. Sabar dalah hal ini tidak berarti diam yaa... Heheee.. Hmm.. buku ini sangat menarik. Ada beberapa bagian yang cukup berhasil mengucurkan air mata karena memang mengharukan. Beda dengan saat saya membaca Negeri 5 Menara, tak ada air mata yang harus keluar meskipun rasa haru juga ada. Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi ini cukup menggugah emosi. Rasa emosinya sama seperti ketika saya membaca Sang Pemimpi dan Edensor karya Andrea Hirata, serta Galaksi Kinanti karya Tasaro GK. Tentang bagaimana seseorang yang dianggap bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa, pada akhirnya mencapai cita-citanya. Buku ini juga menggambarkan bagaimana kondisi mahasiswa yang merantau, bagaimana besarnya tantangan untuk dapat menjadi seorang penulis, sekaligus bagaimana menjadi seseorang yang dapat membanggakan keluarga. Sebuah karya yang ringan namun padat hikmah, semuanya terangkum dalam kisah hidup Alif di Bandung, Amman, dan Amerika.. Ranah 3 Warna.. Mengutip penggalan kalimat dari halaman penutup novel ini.. "... Jarak antara sungguh-sungguh dan sukses hanya bisa diisi dengan sabar. Sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh dari pangkal sampai ujung yang paling ujung yang paling ujung..." "Bagaimanapun tingginya impian, dia tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup sudah digelung oleh nestapa akut. Hanya dengan sungguh-sungguhlah jalan sukses terbuka. ... Man shabara zhafira. Siapa yang sabar akan beruntung" Selengkapnya, berikut identitas bukunya Judul Ranah 3 Warna Penulis A. Fuadi Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan Kedua Januari 2011 Semoga bermanfaat!.. ^_^ Lihat Catatan Selengkapnya
Resensi Novel Berjudul Ranah 3 Warna Novel Ranah 3 Warna adalah novel kedua dari trilogi negeri 5 menara yang penulisnya adalah Ahmad Fuadi, seorang mantan wartawan TEMPO dan VOA yang memiliki segudang prestasi. Diantaranya adalah memperoleh 8 beasiswa dari luar negeri. Dan dianugerahi sebagai penulis dan fiksi terfavorit. Novel Ranah 3 Warna mendapat apresiasi yang begitu besar dari masyarakat, ini karena, kali ini berbeda dengan yang lain, dimana novel ini mengandung makna hidup, kesabaran, keberanian, keikhlasan, dan kesungguhan. Jarang sekali novel menceritakan kehidupan di sebuah pondok, tapi sang penulis benar-benar menyajikannya dengan sangat apik. Ditambah beberapa budaya masyarakat Minang yang unik. Arti dari ranah 3 warna ialah tiga daratan, Bandung, Amman Yordania, dan Quebec Canada. Cerita dalam buku ini tidak hanya perjuangan saja, tapi juga diselingi kisah percintaan seorang Alif kepada Raisa. Novel ini mempunyai beberapa kelebihan, dengan kelebihannya inilah yang membuat unggul diantara novel lainnya yang sudah mendahuluinya. Penulis tidak hanya menuangkan fiksi belaka, tapi juga pengalaman hidup, penggambaran suasana yang tepat, dan mudah dimengerti, yang membuat isi novel ini lebih hidup. Penulis mampu membawa pembaca untuk benar-benar merasakan bagaimana menjelajah Benua Amerika, ikut menyelami budaya orang barat, dan berinteraksi dengan penduduk di sana. Dan tentu saja penulis menyajikan bagaimana hidup itu harus dijalani, walau sekeras apapun usaha kita harus tetap diiringi dengan kesabaran. Untuk secara fisik, novel ini menarik, unik, dan covernya yang membuat penasaran. Ialah sepasang sepatu, pemberian dari ayah Alif di mana telah menginjak tiga ranah yang berbeda, dari Minang, Timur Tengah, hingga Amerika. Pembatas buku ini unik,berbentuk daun maple yang menjadi khas negara Kanada. Sayang sekali, penulis tiba-tiba mengabaikan tokoh Bang Togar di pertengahan hingga akhir novel ini, padahal Bang Togar lah yang berjasa dalam kehidupan Alif di Bandung. Lalu, cara si penulis menggambarkan tokoh si Alif juga kurang mendalam. Tidak ada konflik yang berhasil dikelola si pengarang dengan baik dan mendalam. Semuanya hadir, ada yang dipaksakan dan hilang begitu cepat. Namun, menurut saya, keseluruhan dari novel ini adalah bagus, luar biasa. Penuh inspiratif melebihi dari novel yang pertama. Ahmad Fuadi selalu menyelipkan kata-kata yang memotivasi, mulai dari yang Arab hingga Inggris. Pembaca dibuat untuk memaknai hidup yang sulit dijalani, dengan sabar, ikhlas, dan tawakal. Sekeras apapun usaha kita itu. Begitu banyak pelajaran yang bisa diambil. Ahmad Fuadi berhasil menciptakan sebuah buku yang penuh inspirasi, penuh semangat, dan penuh kesabaran dalam menjalani hidup ini. Betapa hebatnya buku ini, sungguh sangat wajib dibaca oleh anak-anak, remaja, bahkan orang tua, orang yang sedang ingin mencari beasiswa, orang-orang yang merasa nyaris putus asa, orang yang masih pesimis dengan cita-cita tingginya, dan wajib dibaca juga oleh setiap orang yang berlari dan tidak berhenti berlari mengejar mimpi-mimpinya. Tentu saja buku ini juga wajib dimiliki oleh semua kalangan. Sasaran pembaca ialah para pemuda, di mana pemuda pada umumnya memiliki semangat yang tinggi, cocok dimiliki oleh pemuda-pemuda. “Dalam hidup ini, ternyata man jadda wajadda saja tidak cukup. Ada jarak terbentang diantara sungguh-sungguh dan sukses. Jarak yang harus ditempuh dengan sabar aktif. Man Shabara Zhafira.” Identitas Novel Judul Ranah 3 Warna Penulis A. Fuadi Tahun Terbit 2011 Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Tebal Buku 473 Latar Belakang Penulis A Fuadi lahir di nagari Bayur, sebuah kampung kecil di pinggir Danau Maninjau tahun 1972, tidak jauh dari kampung Buya Hamka. Ibunya guru SD, ayahnya guru madrasah. Lalu Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Di Pondok Modern Gontor dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat. Gontor pula yang membukakan hatinya kepada rumus sederhana tapi kuat, ”man jadda wajada”, siapa yang bersungguh sungguh akan sukses. Juga sebuah hukum baru ilmu dan bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela dunia. Bermodalkan doa dan manjadda wajada, dia mengadu untung di UMPTN. Jendela baru langsung terbuka. Dia diterima di jurusan Hubungan Internasional, UNPAD. Semasa kuliah, Fuadi pernah mewakili Indonesia ketika mengikuti program Youth Exchange Program di Quebec, Kanada. Di ujung masa kuliah di Bandung, Fuadi mendapat kesempatan kuliah satu semester di National University of Singapore dalam program SIF Fellowship. Lulus kuliah, dia mendengar majalah favoritnya Tempo kembali terbit setelah Soeharto jatuh. Sebuah jendela baru tersibak lagi, Tempo menerimanya sebagai wartawan. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportasenya di bawah para wartawan kawakan Indonesia. Selanjutnya, jendela-jendela dunia lain bagai berlomba-lomba terbuka. Setahun kemudian, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk program S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University. Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinya—yang juga wartawan Tempo—adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden TEMPO dan wartawan VOA. Berita bersejarah seperti peristiwa 11 September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan Capitol Hill. Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter. Kini, penyuka fotografi ini menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi The Nature Conservancy. Tidak punya cukup uang untuk sekolah, Fuadi bekerja keras untuk mencari beasiswa sejak kuliah. Tidak sia-sia, sampai sekarang Fuadi telah mendapatkan 8 beasiswa dari luar negeri, membuat dia bisa mencicipi pengalaman belajar di Kanada, Singapura, Amerika Serikat dan Inggris. Fuadi dan istrinya tinggal di Bintaro, Jakarta. Mereka berdua menyukai membaca dan traveling. ”Negeri 5 Menara” adalah buku pertama dari rencana trilogi. Buku-buku ini berniat merayakan sebuah pengalaman menikmati atmosfir pendidikan yang sangat inspiratif. Semoga buku ini bisa membukakan mata dan hati. Dan menebarkan inspirasi ke segala arah. Sebagian royalti diniatkan untuk merintis Komunitas Menara, sebuah organisasi sosial berbasis relawan volunteer untuk memajukan pendidikan khususnya buat orang yang tidak mampu. Ke depan, Komunitas Menara ingin menyediakan sekolah, perpustakaan, rumah sakit, dan dapur umum secara gratis buat kalangan yang tidak mampu. Pokok-Pokok Isi Novel Unsur Intrinsik Tema Seseorang yang ingin mewujudkan mimpinya seperti seorang Habibie. Tokoh dan Perwatakan Ø Alif Tokoh 'aku' dalam cerita ini. Ø Randai Teman Alif sejak kecil yang selalu bersaing dalam mengejar impian. Ø Raisa Teman sekaligus tetangga Alif di Bandung, dan Alif jatuh hati padanya. Ø Rusdi Teman satu grup Alif yang unik dan pandai pantun Ø Francois Pepin Homologue Alif di Quebec Alur Novel ini memakai alur maju, karena dalam ceritanya tidak terdapat kilas balik sehingga membuat pembaca penasaran apa yang akan terjadi di kisah selanjutnya. Sudut Pandang Novel ini memakai sudut pandang orang pertama tunggal sebagai tokoh utama. Latar Tempat Pondok Pesantren Madani Ponorogo. Suasana Menyenangkan, menyedihkan, dan menegangkan. Waktu Pagi hari, siang hari, sore hari, dan malam hari. Bahasa Bahasa yang digunakan dalam novel ini tetap bahasa Indonesia walaupun ada sedikit bahasa yang tidak menggunakan bahasa Indonesia. Sinopsis Alif baru saja tamat dari Pondok Madani. Dia bahkan sudah bisa bermimpi dalam bahasa Arab dan Inggris. Impiannya? Tinggi betul. Ingin belajar ITB Bandung seperti Habibie, lalu merantau sampai ke Amerika. Dengan semangat menggelegak dia pulang ke Maninjau dan tak sabar ingin segera kuliah. Namun kawan karibnya, Randai, meragukan dia mampu lulus UMPTN. Lalu dia sadar, ada satu hal penting yang dia tidak punya. Ijazah SMA. Bagaimana mungkin mengejar semua cita-cita tinggi tadi tanpa ijazah? Terinspirasi semangat tim dinamit Denmark, dia mendobrak rintangan berat. Baru saja dia bisa tersenyum, badai masalah menggempurnya silih berganti tanpa ampun. Alif letih dan mulai bertanya-tanya “Sampai kapan aku harus teguh bersabar menghadapi semua cobaan hidup ini?” Hampir saja dia menyerah. Rupanya mantra 'man jadda wajada' saja tidak cukup sakti dalam memenangkan hidup. Alif teringat mantra kedua yang diajarkan di Pondok Madani ''man shabara zhafira'. Siapa yang bersabar akan beruntung. Berbekal kedua mantra itu dia songsong badai hidup satu persatu. Bisakah dia memenangkan semua impiannya? Kemana nasib membawa Alif? Apa saja 3 ranah berbeda warna itu? Siapakah Raisa? Bagaimana persaingannya dengan Randai? Apa kabar Sahibul Menara? Kenapa sampai muncul Obelix, orang Indian dan Michael Jordan dan Ksatria Berpantun? Apa hadiah Tuhan buat sebuah kesabaran yang kukuh? Ranah 3 Warna adalah hikayat bagaimana impian tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup terus digelung nestapa. Tuhan bersama orang yang sabar. Amanat 1. Janganlah cepat mudah putus asa dalam meraih cita cita walaupun banyak rintangan yang harus kita hadapi karena Tuhan pasti memberikan jalan yang terbaik. Kelebihan Dalam hal organisasi novel ini, hubungan antara satu bagian dengan bagian yang lain harmonis dan dapat menimbulkan rasa penasaran pembaca. Karena dalam penceritaan isi novel tidak berbelit-belit. Kelemahan Menggunakan kata kata yang sulit dimengerti dalam novel tersebut. Contohnya kata 'man jadda wajada' dan kata ''man shabara zhafira'.
resensi novel ranah 3 warna